Ahlan Wa Sahlan Muharram
by
Memoar Liiza
- Oktober 01, 2015
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah udah memasuki bulan
baru. September kemarin bener-bener bulan yang hectic banget deh buatku. Bulan
pertama kuliah setelah libur panjang dan bulan dimana lagi banyak-banyaknya
tugas kuliah dan amanah. Hmmm…
Meski
September udah berlalu tapi aku tetep ngerasa sedih. Ada beberapa
target dan rencana yang belum tercapai di bulan September. Intinya masih banyak
banget yang harus dibenahi dan dievaluasi heuheu. Bulan September itu buatku
sesuatu banget deh hehe. Kebetulan Hari Raya Idul Adha tahun ini bertepatan
dengan 23 September. Entah kenapa kalau di Indonesia Hari Raya Idul Adha itu
nggak begitu disambut antusias seperti halnya Idul Fitri padahal kalau di luar
negeri justru sebaliknya. Padahal kan baik Idul Fitri maupun Idul Adha
sama-sama hari raya yah nggak usah didiskreditkan gitu sih haha *apa sih
Ngomong-ngomong soal hari raya
disitu kadang saya merasa sedih #lho. Iya kadang saya ngerasa sedih. Kenapa?
Iya soalnya hari raya dimaknai hanya sebagai perayaan aja. Perayaan yang di
dalamnya umumnya diisi dengan pesta pora. Kita kadang terlalu larut dalam acara
perayaan seremonial tahunan yang bernama “Hari Raya”. Hari raya hanya dimaknai
sebatas berkumpul bersama keluarga dan berpesta ria.
Mungkin karena istilahnya “hari
raya” yang secara harfiah maknanya hari yang dirayakan atau hari yang patut
untut dirayakan. Bukannya nggak boleh merayakan atau bersuka cita di hari raya.
Saya sama sekali nggak melarang kok. Makan-makan, silaturahmi saling berkunjung
ke rumah sanak famili tentu kegiatan yang baik. Husnuzhan saya itu bentuk rasa
syukur kita dalam mengekspresikan kegembiraan di hari raya.
Kalau sebelum merayakan Idul
Fitri kita digembleng dan ditempa di sekolah Ramadhan demi mendidik diri kita
agar memiliki kualitas jiwa muttaqin, selepas Ramadhan berlalu adakah kualitas
diri ini meningkat? Sudahkah kita menjadi pribadi-pribadi yang lulus dari
“Madrasah Ramadhan”?
Idul Fitri = Kembali ke fitrah.
Lulus dari Madrasah Ramadhan kita diharapkan menjadi hamba yang kembali kepada
fitrah. Kembali kepada fitrah kita yaitu seorang hamba yang bertauhid. Seorang
hamba yang hanya beribadah kepada Allah secara totalitas. Seorang hamba yang
menjadikan Allah sebagai satu-satunya Ilah. Hanya Allah-lah satu-satunya yang
dicintai, disembah, diibadahi. Tidak manusia, tidak pula hawa nafsu, kekayaan
dan jabatan.
Idul Adha = Kembali kepada
pengorbanan
Kalau di bulan Syawal ada Idul
Fitri di bulan Dzulhijjah kita ada hari raya Idul Adha. Esensi dari Idul Adha
adalah sebuah pengorbanan. Dimana kita mengorbankan sesuatu yang kita cintai
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Pertanyaannya sudahkah diri kita
menjadi orang yang pantas menyambut hari raya dengan pekik takbir sebagai
pertanda merayakan kemenangan?
Atau jangan-jangan
lafadz takbir yang lantang kita teriakkan hanya sebatas kata tanpa makna? Bukan
sebagai bukti rasa syukur kita atas kemenangan yang kita raih dengan cara
mengagungkan asma-Nya?
Dan sebentar
lagi kita akan menyongsong bulan Muharram. Bulan pertama dalam sistem
penanggalan kalender hijriah. Bulan Muharram ini identik dengan bulan
kebangkitan. Karena pasca berhijrah ke Madinah kondisi Umat Islam yang awalnya
lemah dan tertindas berbalik menjadi kuat hingga akhirnya kaum kafir Quraisy
dapat ditaklukkan oleh kaum muslimin. So menjelang tahun baru Islam ayo kita
bangkitkan semangat kita, diri kita untuk menjadi mujahid-mujahid yang
berkontribusi dalam menegakkan din Islam. Aaamiin.
*ditulis
sambil ngantuk maaf ya kalau rada nggak nyambung
22.56