Kenapa Kemandirian Laki-laki itu Tak Kunjung Hadir?

by - Februari 08, 2024

 Bismillahirrahmanirrahim

Pagi tadi saya dikirimi vn kakak saya yang menceritakan kalau temannya sedang dililit hutang. Kemelut dan kesemrawutan dimulai  ketika teman kakak saya ini dengan "sukarela" meminjamkan akun spinjam untuk kemudian uangnya dipakai kakak lelakinya. Singkat cerita kakaknya ini ngemplang alias nggak bisa bayar. 

Gimana mau bayar lha wong nggak punya penghasilan, kerja juga pilih-pilih bahkan kuliahnya yang dari tahun 2012 itu tak kunjung selesai. Entah sudah diputihkan berapa kali. 

Sebagai anak lelaki tertua tentu diharapkan bisa menjadi sosok yang bertanggungjawab atas dua orang adik-adiknya. Namun kenyataan berkata sebaliknya. Kuliah tidak kunjung selesai, akibatnya uang kuliah menunggak tidak bisa bayar, keluarganya terpaksa mengambil cicilan demi membayar kuliahnya hingga terseret ke dalam pusaran hutang.

Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari pun mereka berhutang. Cicilan KUR lah, koperasi lah, spaylater, spinjam. Entah berapa banyak cicilan yang mereka punya. Saya yang mendengarnya saja sudah pusing. Apalagi mereka yang hari-harinya diisi dengan tenggat waktu cicilan. Betapa sesaknya hidup seperti itu.

Saya sadar bahwa setiap keluarga punya ujian yang berbeda. Ada yang diuji dengan ekonomi, sebagian lainnya diuji dengan sakit dsb. Saya meyakini bahwa pendidikan itu hak semua warga negara. Semua orang terlepas dari apa pun latar belakangnya berhak mendapatkan akses pendidikan yang layak. 

Selidik demi selidik sang kakak ini ternyata sudah malas kuliah tapi ternyata tetap dipaksa ibunya hanya karena sayang sudah kuliah belasan semester kalau ujungnya tidak menyandang ijazah. Akhirnya dia terpaksa kuliah dengan ogah-ogahan. Setiap bertambah semester bukannya bertambah semangat malah kian malas. Padahal ibunya susah payah mencari pinjaman hanya untuk membayar kuliahnya.

Bayangkan seorang pemuda usia 30-an masih dibayari kuliah ibunya dan dibalas dengan kemalasan. Padahal dia lah yang telah menyeret keluarganya dalam pusaran hutang. Sudah kuliah dibayari, tidak serius bukannya kuliah sungguh-sungguh agar segera selesai dan membantu keluarga malah justru jadi beban.

Semoga keluarga kita terhindar dari kasus gang begini. Miris rasanya seorang yang sudah dewasa terlebih lagi laki-laki menjadi beban berat keluarganya. Padahal mestinya laki-laki lah yang menanggung beban nafkah. 

Allah lebihkan laki-laki dengan kemampuan fisik itu salah satunya adalah untuk menanggung beban nafkah, melindungi dan menjaga keluarga bukan malah membebani dan menyeretnya dalam penderitaan.

Ngomong-ngomong tentang nafkah dan kemandirian laki-laki saya nemu postingan bagus di FB. Kebetulan yang menulis adalah guru saya sendiri. Simak deh insya Allah ada hikmah yang bisa diambil

"Anak lelaki sekarang terlalu lama dinafkahi oleh orang tuanya. Disekolahin, dikuliahin, dibiayain nikahnya, dll, hingga orang tuanya tidak sempat lagi punya saving untuk hari tuanya.

Saat anak lelakinya berumah tangga, orang tuanya benar-benar kondisinya sdh tua dan lemah, tdk produktif lagi. Di sisi lain, orang tua juga sdh tdk punya aset yang menghasilkan untuk menjamin masa tua mereka karena habis dijual untuk biaya anak lelakinya. 

Maka, di sinilah memang kenapa kadang ada orang tua yang meminta jatah dari anak lelakinya, apalagi jika anaknya dilihatnya berkecukupan, sekedar agar para orang tua ini bisa menegakkan punggungnya agar kuat ibadah hingga nunggu wafat.

Maka, istri yang mempunyai mertua yang kondisinya begini, apa tega menahan harta suaminya untuk diberikan kepada orang tuanya? Ini bukan lg masalah fiqih, tapi masalah nurani. 

Dalam Islam sendiri, orang tua wajib menafkahi anak lelakinya itu sampai usia baligh. Selebihnya dihitung sedekah. 

Islam mengajarkan anak lelaki itu cepat mandiri, jgn terlalu merepotkan orang tua terlalu lama. Biar orang tua bisa membangun finansial untuk dirinya dan tdk 'mengganggu' finansial rumah tangga anaknya saat sdh menikah. 

Tapi kondisinya sekarang, sangat langka lelaki cepat mandiri.  

Sudah habis2an dikuliahin pun, masih ditanggung oleh orang tua nafkahnya karena blm juga bisa mandiri. Menikah pun, masih orang tuanya yang habis2an biayain acaranya.

Maka disinilah, dibutuhkan keluasan hati dari istri untuk berbagi ke orangtua suaminya. Klo pun tdk bisa memberi, jangan pula disakiti dengan ucapan2 yg tdk layak.

Insya Allah, harta yang dikasih ke orang tua akan menjadi jalan keberkahan bagi rumah tangga tersebut.

Jangan terlalu perhitungan ke orang tua, krn org tua juga biayai hidup kita tidak pernah ngitung". 

~ Pengingat untuk diriku sendiri juga.

Shabaahul Khoyr Jama'ah   

🌻🌻🌻

- Tulisan Nur Fitriyah As'ad


Kisah di atas mungkin hanya salah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di luaran sana. Hal ini PR besar bagi orang tua untuk mendidik anak dengan baik sesuai dengan syariat.

Sebagai orang tua mungkin kita perlu lebih menyeriusi penerapan tegaknya syariat Islam dalam keluarga terutama pada bab nafkah pada anak. Latihlah anak laki-laki untuk tidak bergantung pada kita setelah baligh. Dalam Islam setelah baligh anak laki-laki sudah tidak wajib dinafkahi. Selebihnya dianggap sedekah orang tua pada anaknya. 

Bagaimana mungkin seorang laki-laki yang Allah lebihkan kekuatan fisiknya untuk menanggung beban sebagai tulang punggung keluarga justru membiarkan tulang rusuk menjadi tulang punggung? 

Tidakkah kita merasa malu?

Mungkin salah satu hikmah yang bisa dipetik dari syariat di atas adalah betapa Rasulullah dan generasi para sahabat cepat mandiri dan cepat dewasa. Mereka sudah mandiri sejak muda dan terlatih menanggung beban.

Beban keluarga saja sudah terbiasa dipikul sejak dini sehingga mereka sudah naik level hidupnya tidak hanya berkutat seputar mengurusi dan "menghidupi" keluarga tapi mengurusi dan "menghidupi" umat. 

You May Also Like

0 komentar

Kasih komentar dong biar nggak terlalu sepi hehe